- Apakah CV dan Firma termasuk dalam kategori Korporasi?
- Apakah Tiad, Mafia, dan Geng Motor termasuk dalam kategori Kejahatan Korporasi ataukah termasuk dalam kategori Kejahatan Terorganisir?
- Siapakah yang bertanggungjawab atas terjadinya Kejahatan Korporasi?
....
Dalam Ilmu Hukum Perdata, CV dan
Firma tidaklah digolongkan dalam kategori badan hokum, yang termasuk hanyalah
Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Koperasi. Namun, dalam ruang lingkup Kejahatan
Korporasi, CV dan Firma digolongkan sebagai sebuah badan hokum, hal ini
sebagaimana pengertian Korporasi yang secara sederhana diartikan sebagai
kumpulan orang atau kekayaan yang tergabung dalam suatu badan yang dibentuk berdasarkan dasar
hokum yang sah. Adapun menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Kejahatan dalam lingkup Kejahatan
Korporasi hanya kejahatan yang berada dalam bidang ekonomi/financial, tidaklah
termasuk kejahatan-kejahatan konvensional. seperti pembunuhan, penganiayaan,
perusakan dll. Adapun keberadaan Triad , Mafia, atau pun Geng Motor meskipun secara sederhana dapat
diartikan sebagai sebuah kumpulan orang, namun tidak dapat digolongkan sebagai
sebuah Kejahatan Korporasi, sebab memiliki kategori tersendiri yaitu Kejahatan
Terorganisir. Meskipun pada dasarnya Kejahatan Korporasi juga dilakukan oleh
suatu perkumpulan, namun letak perbedaannya adalah pada dasar pembentukan atau
terbentuknya perkempulan tersebut. Triad, Mafia, dan Geng Motor dibentuk
berdasarkan keinginan untuk para pendirinya khusus untuk melakukan kejahatan
tertentu, sedangkan Kejahatan Korporasi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh
suatu perkumpulan dengan tujuan pendirian yang sah menurut hokum, namun pada
waktu tertentu melakukan suatu tindak pidana dalam bidang ekonomi/financial.
Saat berbicara mengenai
pertanggungjawaban pidana dalam Ilmu Hukum Pidana atau lebih tepatnya
berdasarkan Kitab Undang-Undang Pidana (KUHPidana), maka yang harus melakukan
pertanggungjawaban atas terjadinya suatu tindak pidana adalah subjek hokum baik
persoon (orang) maupun recht persoon (badan hukum). Secara garis
besar, suatu pertanggungjawaban pidana diukur pada kemampuan bertanggung jawab dan
kesalahan (dolus dan culpa)yang terbukti dilakukan oleh
pelaku tindak pidana. Kemampuan bertanggung jawab sebagaimana dalam pasal 44
KUHPidana disebutkan bahwa, “Tidak boleh dipidana ialah barangsiapa yang
mewujudkan suatu delik, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya disebabkan
oleh kekurangsempurnaan pertumbuhan akalnya atau sakit gangguan akal
(diterjemahkan oleh Prof. Zainal Abidin Farid dalam Hukum Pidana 1, Cetakan
Kedua: 260)”. Selanjutnya mengenai kesalahan, baik dolus maupun culpa maka
kita tidak dapat terlepas oleh teori kehendak dan teori membayangkan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
suatu tindak pidana hanya dapat dibebankan suatu pertanggungjawaban pidana
kepada subjek hokum persoon (orang),
dan bukan recht persoon (badan hukum),
sebab badan hokum hanyalah benda mati yang tidak memiliki suatu akal, kehendak,
dan juga bayangan. Hanya oranglah yang memiliki akal, kemampuan untuk
membayangkan, dan kehendak untuk melakukan sesuatu. Dalam kenyataannya pun juga
terbukti bahwa segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh badan hokum
sepenuhnya dilakukan oleh orang, sebab badan hokum tidak dapat melakukan apapun
tanpa adanya akal, kehendak, maupun bayangan. Oleh sebab itu, suatu pertanggungjawaban
pidana hanya dapat dilakukan oleh orang, dan dalam hal Kejahatan Korporasi
hanya orang atau yang lebih tepatnya adalah pengurus badan hokum. Namun, lambat
laun seiring dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan masyarakat, nampaknya
pertanggungjawaban pidana yang hanya diberikan kepada pengurus badan hokum
tidaklah efektic mengingat peningkatan terjadinya Kejahatan Korporasi yang
semakin besar. Hal inilah yang kemudian mendorong agar pertanggungjawaban
pidana diserahkan saja kepada badan hokum yang bersangkutan. Pertimbangannya
adalah, jika hanya individu/pengurusnya saja yang dipidana, tetapi badan hokum
yang bersangkutan tetap menjalankan hal-hal yang menyimpang dari aturan hokum,
maka Kejahatan Korporasi tidaklah serta merta hilang. Oleh sebab itu, badan
hokum yang melakukan Kejahatan Korporasi yang seharusnya mendapatkan
pertanggungjawaban atas adanya tindak pidana, sebab dengan demikian segala
bentuk tindak pidana yang dilakukan badan hokum tersebut dapat dihentikan agar
tidak terjadi lagi. Selanjutnya, ada teori yang berkembang terkait mengenai
siapa yang harus dibebankan pertanggungjawaban pidana terkait adanya tindak
pidana Kejahatan Korporasi. Pada awalnya hanya pengurus, kemudian badan
hukumnya saja, dan akhirnya berkembang lagi bahwa selain badan hukumnya,
pengurusnya pun juga tetap dipidana, sebab bagaimanapun suatu badan hokum
tidaklah dapat memiliki akal, kehendak, atau pun bayangan untuk melakukan suatu
tindak pidana. Istilah sederhananya adalah tidak boleh ada pihak yang terkait
mengenai adanya tindak pidana Kejahatan Korporasi yang dapat lolos dari ancaman
pidana. Hal ini tentunya dapat berdampak positive pada proses pencegahan, sebab
dapat memberikan ancaman bagi siapapun yang hendak melakukan tindak pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar