Jumat, 21 Februari 2014

Kejahatan Korporasi

  1. Apakah CV dan Firma termasuk dalam kategori Korporasi?
  2. Apakah Tiad, Mafia, dan Geng Motor termasuk dalam kategori Kejahatan Korporasi ataukah termasuk dalam kategori Kejahatan Terorganisir?
  3. Siapakah yang bertanggungjawab atas terjadinya Kejahatan Korporasi?

....

Dalam Ilmu Hukum Perdata, CV dan Firma tidaklah digolongkan dalam kategori badan hokum, yang termasuk hanyalah Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Koperasi. Namun, dalam ruang lingkup Kejahatan Korporasi, CV dan Firma digolongkan sebagai sebuah badan hokum, hal ini sebagaimana pengertian Korporasi yang secara sederhana diartikan sebagai kumpulan orang atau kekayaan yang tergabung dalam suatu badan yang dibentuk berdasarkan dasar hokum yang sah. Adapun menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Kejahatan dalam lingkup Kejahatan Korporasi hanya kejahatan yang berada dalam bidang ekonomi/financial, tidaklah termasuk kejahatan-kejahatan konvensional. seperti pembunuhan, penganiayaan, perusakan dll. Adapun keberadaan Triad , Mafia, atau pun  Geng Motor meskipun secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah kumpulan orang, namun tidak dapat digolongkan sebagai sebuah Kejahatan Korporasi, sebab memiliki kategori tersendiri yaitu Kejahatan Terorganisir. Meskipun pada dasarnya Kejahatan Korporasi juga dilakukan oleh suatu perkumpulan, namun letak perbedaannya adalah pada dasar pembentukan atau terbentuknya perkempulan tersebut. Triad, Mafia, dan Geng Motor dibentuk berdasarkan keinginan untuk para pendirinya khusus untuk melakukan kejahatan tertentu, sedangkan Kejahatan Korporasi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh suatu perkumpulan dengan tujuan pendirian yang sah menurut hokum, namun pada waktu tertentu melakukan suatu tindak pidana dalam bidang ekonomi/financial.
Saat berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana dalam Ilmu Hukum Pidana atau lebih tepatnya berdasarkan Kitab Undang-Undang Pidana (KUHPidana), maka yang harus melakukan pertanggungjawaban atas terjadinya suatu tindak pidana adalah subjek hokum baik persoon (orang) maupun recht persoon (badan hukum). Secara garis besar, suatu pertanggungjawaban pidana diukur pada kemampuan bertanggung jawab dan kesalahan (dolus dan culpa)yang terbukti dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Kemampuan bertanggung jawab sebagaimana dalam pasal 44 KUHPidana disebutkan bahwa, “Tidak boleh dipidana ialah barangsiapa yang mewujudkan suatu delik, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya disebabkan oleh kekurangsempurnaan pertumbuhan akalnya atau sakit gangguan akal (diterjemahkan oleh Prof. Zainal Abidin Farid dalam Hukum Pidana 1, Cetakan Kedua: 260)”. Selanjutnya mengenai kesalahan, baik dolus maupun culpa maka kita tidak dapat terlepas oleh teori kehendak dan teori membayangkan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dibebankan suatu pertanggungjawaban pidana kepada subjek hokum persoon (orang), dan bukan recht persoon (badan hukum), sebab badan hokum hanyalah benda mati yang tidak memiliki suatu akal, kehendak, dan juga bayangan. Hanya oranglah yang memiliki akal, kemampuan untuk membayangkan, dan kehendak untuk melakukan sesuatu. Dalam kenyataannya pun juga terbukti bahwa segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh badan hokum sepenuhnya dilakukan oleh orang, sebab badan hokum tidak dapat melakukan apapun tanpa adanya akal, kehendak, maupun bayangan. Oleh sebab itu, suatu pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan oleh orang, dan dalam hal Kejahatan Korporasi hanya orang atau yang lebih tepatnya adalah pengurus badan hokum. Namun, lambat laun seiring dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan masyarakat, nampaknya pertanggungjawaban pidana yang hanya diberikan kepada pengurus badan hokum tidaklah efektic mengingat peningkatan terjadinya Kejahatan Korporasi yang semakin besar. Hal inilah yang kemudian mendorong agar pertanggungjawaban pidana diserahkan saja kepada badan hokum yang bersangkutan. Pertimbangannya adalah, jika hanya individu/pengurusnya saja yang dipidana, tetapi badan hokum yang bersangkutan tetap menjalankan hal-hal yang menyimpang dari aturan hokum, maka Kejahatan Korporasi tidaklah serta merta hilang. Oleh sebab itu, badan hokum yang melakukan Kejahatan Korporasi yang seharusnya mendapatkan pertanggungjawaban atas adanya tindak pidana, sebab dengan demikian segala bentuk tindak pidana yang dilakukan badan hokum tersebut dapat dihentikan agar tidak terjadi lagi. Selanjutnya, ada teori yang berkembang terkait mengenai siapa yang harus dibebankan pertanggungjawaban pidana terkait adanya tindak pidana Kejahatan Korporasi. Pada awalnya hanya pengurus, kemudian badan hukumnya saja, dan akhirnya berkembang lagi bahwa selain badan hukumnya, pengurusnya pun juga tetap dipidana, sebab bagaimanapun suatu badan hokum tidaklah dapat memiliki akal, kehendak, atau pun bayangan untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah sederhananya adalah tidak boleh ada pihak yang terkait mengenai adanya tindak pidana Kejahatan Korporasi yang dapat lolos dari ancaman pidana. Hal ini tentunya dapat berdampak positive pada proses pencegahan, sebab dapat memberikan ancaman bagi siapapun yang hendak melakukan tindak pidana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar